Memberi sayap

Dulu saya nggak pernah appreciate cara orang tua saya mendidik saya, tetapi sekarang kalau saya menoleh (sekilas) ke belakang, saya bersyukur dititipin Tuhan kepada kedua ortu saya yang mendidik saya secara militer…ugh! Jika nggak gitu, mana mungkin sekarang saya punya “sayap” untuk terbang?

Pernah liat kupu-kupu yang baru menggeliat berusaha keluar dari kepompong? Saya sih belum, ini katanya, kata ahli ilmu serangga. Katanya jika kita menolong kupu yang sedang keluar dari kepompongnya, kita harus berusaha menahan diri untuk tidak menolong mengupas kepompongnya dari tubuhnya; sebab jika kita tolong, ia nantinya tidak dapat terbang sebab ia lahir prematur; justru tindakan berbelas kasihan ini dapat menimbulkan kematian dini. Perjuangannya itulah yang merupakan sarana pelengkap bagi hewan bersayap itu untuk terbang. Ketika ia memutar-mutar dan membalikkan badannya dalam upaya sekuat tenaga untuk berjuang, darah mulai dipompakan ke bagian-bagian sayapnya; dan begitu ia keluar, sayap-sayapnya akan mengembang dan biasanya dalam waktu satu jam makhluk kecil itu sudah berada di udara.

Banyak orang datang kepada saya dengan keluhan prematur; mereka belum belajar membuat sayap, tapi maunya terbang cepat-cepat. Kalau udah gitu saya cuman geleng-geleng aja; orang kok sukanya jalan pintas – pepatah sekuler pun mengajar kepada kita untuk berrakit-rakit ke hulu berrenang-renang ke tepian; bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Jadi nggak ada instanitas, Ses.
Ada yang mau segera dipakai Tuhan dengan luar biasa, tapi karakternya aja masih bengkok-bengkok, masa Tuhan bisa bangga liat dia di luaran sana dengan gaya yang tidak selaras dengan standar Sorga? Ya harus bikin sayap dulu, harus berjuang meliuk-liukkan tubuhnya dulu, disertai airmata, menahan hati, belajar rendah hati lama-lama dulu, sampai sayapnya jadi. Beberapa orang mengeluh dan merengek-rengek bertahun-tahun mau segera keluar dari lilitan hutangnya. Saya yakin jika Tuhan mengirimkan mujizat, dia akan terlilit lagi, sebab ia belum merakit sayapnya, maka ia akan terperosok ke dalam lubang yang sama, bahkan bisa mati dini kejepit uang.

Sebenarnya saya ingin berjiwa “korban” jika melihat orang datang dengan keluhan terlilit hutang ; tapi jika demikian saya justru tega “mematahkan sayapnya” dan membuatnya lahir prematur. Itu sebabnya kasih dan perhatian saya curahkan dalam waktu-waktu doa selama mereka menggeliat-geliat memompa darah ke seluruh sayap. Saya mengasihi mereka dan kasih itu saya tunjukkan lewat hati saya di hadapan Tuhan. Setelah mereka menggeliat kesakitan
dengan seluruh upaya mereka, akhirnya sayap-sayap muncul, yaitu ide-ide mereka saat terjepit – mereka jadi berkreasi dengan memasarkan baju anak di tukang-tukang grosir besar, mereka juga jadi pandai membuat adonan yang hampir mirip dengan J.Co, lalu ada juga yang pintar merawat bunga-bunga dan tanaman yang dijual dengan harga mahal.

Itu adalah “sayap-sayap” yang dihasilkan pada waktu mereka menggeliat kesakitan ingin keluar dari kepompong. Apa jadinya jika saya berbelas kasih dan mengucuri uang disaat mereka ingin keluar dengan instan tanpa kesakitan? Apakah mereka akan belajar hal-hal yang dilaluinya disaat kepepet? Tidak akan, justru mereka akan menjadi orang-orang yang tidak bertanggungjawab seperti semula, yaitu pemborosan dan penghamburan harta. Jadi saya bersyukur, walaupun saya juga menangis bersama mereka pada waktu “membuat sayap”, tetapi sekarang kami semua melihat “sayap-sayap” indah yang membantu mereka terbang tinggi.

Di lain pihak, saya sering sedih melihat orangtua-orangtua yang memberikan semua permintaan anak waktu mereka merengek kepadanya; ada yang mendapatkan mobil sport terbaru saat memasuki usia 17 tahun, ada yang mendapatkan apartemen mahal di luar negeri, ada yang mendapatkan uang jajan berlebihan; ada yang mendapatkan HP terbaru, motor besar, dll. Banyak orangtua sukses yang “tidak tega” melihat anaknya sengsara “mengggeliat keluar dari kepompong” dengan cara mengeluarkannya secara dini – yang tidak disadarinya akan membuatnya lahir prematur dan justru mematahkan sayap-sayap masa depan mereka.

Orangtua berhikmat akan memperhatikan anak-anaknya saat mereka “menggeliat kesakitan untuk keluar dari kepompong” dengan cara menahan hati dan berdoa mempercayakannya kepada Tuhan yang selalu akan menjaga – karena justru inilah bekal terbesar bagi si anak di kemudian hari nanti dalam menghadapi badai kehidupan yang menentang arus. Ia membutuhkan sayap untuk terbang, ia membutuhkan sayap yang kuat untuk melawan arus kehidupan. Dan mereka tidak boleh mengharapkan orangtua sebagai sumber pertolongan, tetapi ajarkan mereka bersandar kepada Tuhan. Didiklah mereka selagi mereka masih muda untuk tidak mendapatkan semua apa yang mereka inginkan – percayalah, anakmu tidak akan mati.

Sumber : www.maqdalene. net